KEMDIKBUD : Kesulitan Belajar di Masa Pandemi Covid 19 Memicu Learning Lost
Kesulitan belajar di masa pandemi covid 19 memicu learning lost |
Republika.co.id, Jakarta -- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencatat, tanda-tanda learning lost sudah mulai terjadi. Hal ini berdasarkan hasil asesmen diagnostik yang dilakukan guru selama masa pandemi Covid-19.
Learning lost adalah kehilangan kemampuan dan pengalaman belajar pada siswa. Totok mengatakan, sebagian besar guru menilai, separuh siswa tidak memenuhi standar kompetensi berdasarkan asesmen diagnostik yang dilakukan.
"Learning lost tanda-tandanya sudah mulai tampak, meskipun ini baru hasil analisis guru berdasarkan asesmen diagnostiknya," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud Totok Suprayitno dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi X DPR RI, Kamis (21/1).
Secara persentase, sebanyak 47 persen sekolah/guru mengatakan, hanya 50 persen siswa memenuhi standar kompetensi. Selain itu, sebanyak 20 persen sekolah/guru menilai, sebagian kecil siswa memenuhi standar kompetensi. Artinya, siswa yang memenuhi standar kompetensi hanya di bawah 50 persen.
Sementara itu, sebanyak 31,9 persen sekolah/guru yang menilai siswanya sebagian besar sudah memenuhi standar kompetensi. Jika sebagian besar guru menilai siswanya tidak memenuhi standar kompetensi, artinya sudah ada kecenderungan terjadi learning lost.
Pada masa pandemi belajar secara optimal memang sulit untuk dilakukan. Terkait hal ini, Totok mengatakan, sekarang guru didorong untuk mengajar tidak sesuai ketuntasan kurikulum, tapi sesuai dengan kemampuan siswa.
"Mengajar tidak sesuai ketuntasan kurikulum, tapi mengajar sesuai kemampuan siswa. Ini merupakan paradigma baru. Kalau dulu yang dituntut adalah belajar untuk menuntaskan kurikulum. Sekarang, perlu dikedepankan belajar untuk memaksimalkan potensi peserta sesuai dengan kemampuan," kata Totok.
Asesmen diagnostik, lanjut Totok, membuat guru terbiasa melakukan proses merencanakan pembelajaran dan melakukan cek setelahnya. Kemendikbud menilai, dengan cara asesmen diagnostik ini dapat membantu guru dalam meningkatkan kualitas hasil belajar.
Khawatir Learning Lost, Nadiem Minta Daerah Sulit PJJ Kembali Buka Sekolah
Nadiem Makarim (Instagram/Kemdikbud.RI) |
Suara.com - Risiko kehilangan kemampuan dan pengalaman belajar pada siswa atau lost learning muncul dalam pembelajaran jarak jauh (PJJ). Dengan demikian, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengimbau kepada seluruh pemerintah daerah agar segera membuka sekolah tatap muka bagi yang tidak bisa menjalankan PJJ.
Nadiem mengatakan kalau pembukaan sekolah tatap muka menjadi satu-satunya solusi agar para siswa tidak mengalami ketertinggalan. Menurutnya masalah itu menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemda untuk membantu akselerasi sekolah tatap muka di tempat-tempat yang paling sulit melakukan online.
"Jadi kami akan mendampingi pemerintahan daerah yang mungkin banyak dari mereka yang mungkin pelan-pelan di tempat-tempat 3T (testing, tracing, treatment) kita akan dorong untuk membantu memfasilitasi tersebut," kata Nadiem dalam sebuah diskusi daring, Jumat (22/1/2021).
Nadiem mengaku kalau learning lost itu menjadi sesuatu hal yang sangat sulit dihindari dalam situasi PJJ. Jalannya PJJ juga dipahami Nadiem menjadi suatu proses yang sulit dan menimbulkan banyak sekali skenario situasi yang kurang optimal
Meski demikian, ia berharap dengan adanya assesment nasional pada September 2021 bisa mengubah tren learning lost itu sendiri.
Pihaknya telah menginisiatif untuk memastikan para siswa tidak mengalami learning lost, mulai dari pemberian kuota secara gratis, pemanfaatan dana BOS untuk pembelian android dan laptop, pemberian modul pembelajaran, kurikulum darurat, pelatihan untuk guru bahkan modul untuk orang tua pun diupayakan diberikan oleh Kemendikbud.
"Jadi semua hal ini untuk memitigasi," ucapnya.
Tetapi, Nadiem mengatakan kalau upaya-upaya tersebut memang tidak bakal seoptimal dengan sekolah tatap muka. Dengan begitu, ia masih meminta kepada pemda-pemda yang memiliki sekolah dengan kesulitan menjalankan PJJ untuk segera memulai pembelajaran secara tatap muka.
"Jadi tolong bagi para pemda-pemda di mana sekolah-sekolahnya pling sulit melakukan PJJ harap segera memulai dilakukan," tuturnya.
"Toh pembukaan tatap muka tersebut itu dilakukan protokol kesehatan dan cuman kapasitas 50 persen, tidak sama seperti biasanya."
Nadiem Makarim mengatakan untuk pelaksanaan pembelajaran sekolah kini menjadi hak masing-masing pemerintah daerah.
Keputusan itu dituangkan ke dalam Surat Ketentuan Bersama (SKB) 4 Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19.
Melihat pengalaman yang terjadi di 2020, di mana tidak seluruh daerah mampu melaksanakan pembelajaran jarak jauh, maka pemerintah pusat memberikan hak pemerintah daerah untuk menentukan sistem belajar di wilayah masing-masing.
"Kita memberikan hak kembali kepada Pemda tapi tentunya dengan persetujuan kepala sekolah dan komite sekolah," kata Nadiem dalam sebuah diskusi daring, Jumat (22/1/2021)
Sehingga kini Pemda baik di level kabupaten hingga provinsi sudah memiliki hak untuk membuka sekolah tatap muka tanpa melihat kategori zona Covid-19nya. Di sini, Pemda mengambil diskresi untuk pemilihan wilayah yang bisa menjalankan sekolah tatap muka.
"Mana area-area yang mungkin relatif lebih aman dari sisi covid tapi juga daerah-daerah yang relatif sangat sulit melaksanakan PJJ," ujarnya.
Lebih lanjut, Nadiem juga menyadari adanya resiko lost of learning diakibatkan pandemi Covid-19. Dengan demikian, pihak Kemendikbud justru menganjurkan kepada daerah yang sulit melangsungkan PJJ untuk segera membuka sekolah tatap muka.
"Karena memang sangat serius resiko lost of learningnya yang terjadi bukan hanya di Indoneisa tapi seluruh dunia."
Mendikbud Tunda Asesmen Nasional
Mendikbud Nadiem Makarim berdialog dengan sejumlah kepala sekolah dan guru saat melakukan kunjungan kerja di SMK Negeri 8 Palu di Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (4/11) | ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah |
Asesmen nasional diputuskan mundur menjadi September dan Oktober 2021.
JAKARTA -- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memutuskan untuk menunda pelaksanaan asesmen nasional (AN). AN yang ditargetkan dapat dilakukan antara Maret-Agustus 2021 diputuskan mundur menjadi September dan Oktober 2021.
Nadiem menjelaskan, Kemendikbud memutuskan untuk menunda agar protokol kesehatan, termasuk kebutuhan logistik dan infrastruktur di sekolah, terpenuhi dengan baik. Kepastian keamanan di sekolah penting agar siswa dan guru tidak terganggu kesehatannya akibat pandemi.
Menurut dia, AN harus tetap dilakukan pada 2021
meskipun sepanjang tahun ini pembelajaran relatif tidak optimal akibat pandemi.
AN tetap penting dilakukan karena Kemendikbud membutuhkan informasi mengenai
kondisi pendidikan nasional untuk dasar pemberian bantuan.
Seorang guru Bahasa Inggris Subakir (56 tahun), berada di ruang kelas yang kosong di SMAN 108 Jakarta, Jakarta, Rabu (25/11). - (Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO) |
Nadiem mengatakan, jika hasil pembelajaran
selama satu tahun terakhir tidak diasesmen, sulit untuk mengetahui kondisi
pendidikan Indonesia. Menurut dia, pelaksanaan asesmen dibutuhkan untuk
mengetahui ada di mana pendidikan nasional dan bagaimana dampak pandemi
terhadap pembelajaran di sekolah.
Strategi bantuan untuk sekolah diperlukan
agar bisa meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah tersebut. Fokus utama
Kemendikbud, kata Nadiem, untuk mengetahui mana sekolah dan daerah yang paling
butuh bantuan, baik dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Baik itu
berupa bantuan anggaran, pelatihan, maupun dukungan lainnya.
“Kalau tidak bisa mengetahui sekolah yang
tertinggal, kita tidak bisa membuat strategi bantuan untuk sekolah-sekolah yang
membutuhkan. Inilah alasan harus ada asesmen nasional pada 2021,” kata Nadiem.
Nadiem menambahkan, saat ini jumlah
sekolah yang melakukan pembelajaran tatap muka (PTM) sebanyak 15,5 persen dari
total seluruh sekolah. Hal ini, menurut Nadiem, menunjukkan pemerintah daerah
masih berhati-hati dengan melakukan PTM.
“Penyesuaian SKB empat menteri itu masih
saja mempertimbangkan keselamatan dan keamanan. Itulah mengapa kita
membuat check list yang cukup berat, supaya persiapan itu
dilakukan secara serius, dengan berbagai macam perizinan yang harus dilakukan
mulai dari orang tua, komite sekolah, sampai pemdanya sendiri,” kata
Nadiem.Adapun perincian sekolah yang telah melakukan pembelajaran tatap muka
berdasarkan jenjang, yakni SD 13,5 persen, SMP 19,8 persen, SMA 19 persen, dan
SMK 17,5 persen. Nadiem menyebut, untuk kota-kota besar yang memiliki klaster
Covid-19 paling tinggi, sebagian besar belum melakukan PTM.
Dalam rapat yang sama, Ketua Umum
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi menilai, kebijakan peta
jalan pendidikan (PJP) dirumuskan dengan landasan konsep yang belum jelas dan
kurang berbasis pada bukti. Akibatnya, menurut dia, PJP melahirkan banyak
program baru yang muncul tiba-tiba.
Unifah menyebut, penyusunan PJP tidak
memuat latar belakang pemikiran yang jelas, landasan berpikir filosofis, historis,
dan yuridis yang telah berkembang lama dan mengakar kuat dalam masyarakat
Indonesia. “Ini penting untuk memahami bangsa Indonesia yang beragam dengan
kondisi pendidikan dan masyarakat yang berbeda pula,” ujar dia.
vid : sekolah di masa pandemi covid 19