KEKUATAN MENGEMBAN AMANAH
Setiap manusia pastilah mempunyai beban
dipundaknya yaitu amanah, suatu tanggung jawab. Allah memberikan amanah kepada
hamba-Nya disesuaikan dengan kadar kemampuan tiap-tiap individu;
AMANAH atau dapat dipercaya menjadi salah satu karakter unggulan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, sebagaimana dicontohkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang memiliki sifat terpuji tersebut. Amanah yang diberikan kepada Rasulullah dilaksanakan dengan baik sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada seluruh umat serta Allah Subhanahu wa ta'ala. Hal ini yang akhirnya membuat sosok Rasulullah mendapat gelar Al Amin, atau orang yang dapat dipercaya, dan tidak hanya dipercaya oleh kaum Muslimin saja melainkan juga meliputi orang-orang kafir.
Di zamannya, kisah Rasulullah Shallallahu yang begitu amanah tergambar dalam suatu peristiwa di mana beliau dipercayai sebagai orang yang mampu menjaga barang titipan atau harta berharga bagi siapa pun yang menitipkan kepadanya, termasuk orang-orang kafir, yang diketahui begitu membenci.
"Orang-orang kafir di Makkah menentang Rasulullah, mengingkari Beliau, hingga sepakat untuk membunuh Beliau. Namun ketika mereka memiliki harta yang berharga, mereka tak mendapatkan tempat yang mereka percaya untuk menitipkan harta mereka sebagaimana Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Mereka percayai Rasulullah dalam menjaga harta berharga milik mereka, dan tidak dikhianati oleh Rasulullah," ungkap Habib Ahmad bin Novel dalam ceramahnya, dikutip dari akun Youtube Muezza, Selasa (25/8/2020).
Sejatinya jika seseorang ingin menitipkan suatu hal berharga seperti harta, tentu akan memberikannya kepada orang-orang terdekat, bukan orang yang dibencinya atau yang dianggap musuh. Hal ini juga dibarengi dengan sikap yang lebih baik dan santun agar orang yang diberi amanah dalam menjaga harta tersebut tak berniat buruk seperti membawa kabur harta atau menyembunyikannya.
"Tapi lihat, mereka titipkan harta berharga mereka ke Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan di saat bersamaan dengan nyaman mereka menganggu, menganiaya, hingga sepakat membunuh Rasulullah. Tidakkah mereka takut harta mereka dibawa pergi Rasulullah? Jawabannya tidak. Karena mereka sadar betul, sekalipun mereka mengganggu Rasulullah, Beliau tak akan mengkhianati mereka," tambahnya.
Inilah yang disebut dengan kemuliaan yang sesungguhnya, yakni kemuliaan yang diakui oleh musuh sekalipun. Maka ketika mendengar huru hara bahwa para orang kafir tersebut berniat untuk membunuhnya akan datang ke depan rumah beliau dengan pedang di tangannya yang siap menebas, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam langsung melancarkan niatnya untuk berhijrah pergi dari Kota Makkah. Namun di saat itu beliau juga perintahkan Ali bin Abi Thalib untuk mengembalikan harta titipan tersebut kepada mereka, orang-orang kafir, pemilik harta tersebut yang ingin membunuh Rasulullah.
more read : https://muslim.okezone.com/read/2020/08/25/614/2267273/kisah-rasulullah-sangat-amanah-bahkan-ke-orang-yang-hendak-membunuhnya
Amanah bisa berupa benda, pekerjaan, perkataan, ataupun kepercayaan. Maka, amanah bisa berbentuk apa aja yang nantinya akan dimintai pertanggungjawabannya.
Sebagai contoh, dalam pergaulan sehari-hari, kita sering mendengar cerita dari rekan ataupun sahabat tentang diri mereka dan juga orang lain. Sadar atau tidak, sebenarnya cerita-cerita tersebut menjadi amanah buat kita. Karena dipandang sebagai amanah, itu menjadi rahasia yang harus dijaga.
Setiap cerita yang sampai kepada kita pada dasarnya semua adalah amanah. Tak hirau apakah itu benar atau salah. Keduanya harus dirahasiakan, dalam arti tidak memberitahukan kepada orang yang tidak berhak untuk mengetahuinya.
Apalagi, jika cerita itu menyangkut hal negatif. Jika cerita itu benar, berarti itu merupakan suatu aib. Tentu, ia akan merasa malu manakala orang lain mengetahuinya. Maka dari itu, kita diperintahkan untuk tidak menyebarluaskan aib saudara kita. Rasulullah bersabda:
من ستر عورة أخيه المسلم ستر الله عورته يوم القيامة
”Barangsiapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat kelak.” (HR Ibnu Majah).
Adapun jika cerita itu tidak benar, berarti itu adalah kebohongan. Membicarakan tentangnya sama saja kita telah menyebarkan berita dusta. Dan, ini adalah bentuk pengkhianatan yang paling besar. Karena, kalau pun benar adanya, ia disebut berkhianat sebab ia menceritakan apa yang seharusnya tidak diceritakan. Apalagi kalau tidak benar adanya. Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga bersabda:
كَبُرَتْ خِيَانَةً أَنْ تُحَدِّثَ أَخَاكَ حَدِيثًا
هُوَ لَكَ بِهِ مُصَدِّقٌ وَأَنْتَ لَهُ بِهِ كَاذِبٌ
”Khianat terbesar adalah ketika engkau membicarakan saudaramu perkara yang bagimu itu menganggap dirimu jujur, padahal baginya dirimu adalah pembohong.” (HR Bukhari).
Oleh karenanya, untuk menghindari terbuka pintu-pintu dosa dari kesalahan-kesalahan yang diperbuat lidah, lebih baik memilih diam daripada harus terjebak pada dusta. Inilah cara menjaga rahasia tersebut. Dan, orang yang tidak bisa menjaga rahasia, hakikatnya telah terhimpun tiga tanda kemunafikan dalam dirinya. Rasulullah SAW bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
”Tanda orang munafik ada tiga; Jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia ingkari, dan jika dipercaya ia khianat.” (HR Bukhari).
DALIL SYAR’I :
1. QS.4/58 : “Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,…”
2. QS.33/72 :“Sesungguhnya KAMI telah
menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka mereka semua
enggan memikulnya karena mereka khawatir akan mengkhianatinya, maka dipikullah
amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan bodoh…”
3. QS.4/58 :“Sesungguhnya ALLAH
memerintahkan kalian untuk mengembalikan titipan-titipan kepada yang
memilikinya, dan jika menghukumi diantara manusia agar menghukumi dengan adil…”
4. QS
2/283 : Jika kamu dalam perjalanan
(dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang
penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang).
Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
5. QS. 8/27 : Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga)
janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang
kamu mengetahui.
6. QS. 23/8 : Dan orang-orang yang
memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.
7. QS. 70/32 : Dan orang-orang yang
memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.
AS-SUNNAH :
1. “Setiap
kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban
kelak di hari Kiamat,
seorang pemimpin di pemerintahan
adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya, suami
adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang anggota
keluarganya, istri adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang
rumah tangga suaminya serta anak-anaknya, dan seorang pembantu adalah pemimpin
dan akan diminta pertanggungjawaban tentang harta benda majikannya, ingatlah
bahwa setiap kalian adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban kelak
di hari Kiamat.” (HR Muttafaq ‘alaih, dalam Lu’lu wal Marjan hadits no. 1199)
2. “Ada
4 perkara yang jika semuanya ada pada dirimu maka tidak berbahaya bagimu apa
yang terlepas darimu dalam dunia: Benar ketika berbicara, menjaga amanah,
sempurna dalam akhlaq, menjaga diri dari meminta.” (HR Ahmad dalam musnadnya
2/177; Hakim dalam al-Mustadrak 4/314 dari Ibnu Umar ra; berkata Imam
al-Mundziri ttg hadits ini: Telah meriwayatkan Ahmad, Ibnu Abi Dunya, Thabrani,
Baihaqi dengan sanad yang hasan, lih. At-Targhib wa Tarhib 3/589)
MAKNA AMANAH
1. Bahasa:
Bermakna al-wafa’ (memenuhi) dan wadi’ah (titipan). Amanah dalam bahasa Arab berarti
memenuhi janji. Amanah diambil dari kata Al-amnu (rasa aman) lawan dari
ketakutan. Amanah berarti merasa aman dari pengkhianatan.
2. Secara
Definisi: Seorang muslim memenuhi apa yang dititipkan kepadanya. Segala sesuatu yang harus
dijaga dan ditunaikan, baik itu hak-hak Alloh seperti ibadah dan menjauhi
maksiat. Maupun hak-hak sesama manusia, seperti menjaga rahasia dan menepati
janji.
Amanah bukan hanya dalam hal materi atau
hal yang berkaitan dengan kebendaan saja, melainkan berkaitan dengan segala
hal, seperti memenuhi tuntutan ALLAH adalah amanah, bergaul dengan manusia
dengan cara yang terbaik adalah amanah, demikian seterusnya.
Banyak sekali amanah yang ada di pundak
kita, mulai dari amanah untuk mencari nafkah keluarga, mendidik anak,
bersosialisasi di masyarakat, dari amanah yang besar sampai amanah yang kecil.
Semua amanah yang ada di pundak kita bisa menjadi beban yang sangat dahsyat
apabila kita tidak mempunyai kekuatan untuk mengembannya. Maka di sini, sangat
penting bagi kita mempunyai kekuatan agar amanah yang ada mampu kita
laksanakan. Janganlah kita lari dari amanah, karena hal itu justru akan
melemahkanmu dan merupakan awal kegagalanmu. Bila amanah datang menghampirimu,
sambutlah ia dengan optimis dan tunaikanlah segera dengan kesungguhan,
ketekunan dan kesabaran. Niscaya Allah akan memberikan kemudahan dan
keberhasilan.
Dan dari Jabir ra. berkata, tatkala Nabi
saw. berada dalam suatu majelis sedang berbicara dengan sahabat, maka datanglah
orang Arab Badui dan berkata :Kapan terjadi Kiamat ? » Rasulullah saw. terus
melanjutkan pembicaraannya. Sebagian sahabat berkata : » Rasulullah saw.
mendengar apa yang ditanyakan tetapi tidak menyukai apa yang ditanyakannya « .
Berkata sebagian yang lain : » Rasul saw. tidak mendengar”. Setelah Rasulullah
saw. menyelesaikan perkataannya, beliau bertanya:” Mana yang bertanya tentang
Kiamat ?” Berkata orang Badui itu:” Saya wahai Rasulullah saw. “. Rasul saw.
berkata:” Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah Kiamat”. Bertanya:”
Bagaimana menyia-nyiakannya?”. Rasul saw. menjawab:” Jika urusan diserahkan
kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Kiamat” (HR Bukhari)
Hadits ini sebuah peringatan dari Rasul
saw. agar amanah itu diberikan kepada ahlinya. Dan puncak amanah adalah amanah
dalam kepemimpinan umat. Jika pemimpin umat tidak amanah berarti kita tinggal
menunggu kiamat atau kehancuran.
Ciri-Ciri
Pemimpin yang tidak amanah, adalah sbb :
§
Pertama, pemimpin yang tidak
memenuhi syarat keahlian,
yaitu sebagaimana syarat pemimpin yang disepakati ulama Islam, adalah : Islam,
baligh dan berakal, lelaki, mampu (kafaah), merdeka atau bukan budak dan sehat
indra dan anggota badannya.
§
Ciri kedua pemimpin yang
tidak amanah
adalah mementingkan diri sendiri, keluarga dan kelompoknya.
§
Ciri ketiga adalah berlaku
zhalim. Yang
dipikirkan adalah kekuasaannya dan fasilitas dari kekuasaan itu, tidak peduli
rakyat menderita dan sengsara bahkan tidak peduli tumpahnya darah rakyat karena
kezhalimannya.
§
Ciri keempat adalah
menyesatkan umat.
Pemimpin yang tidak amanah akan melakukan apa saja untuk menyesatkan umat.
Misalnya, dengan kekayaannya yang diperoleh secara zhalim membeli media masa
untuk menjadi ‘corongnya’. Rasul saw bersabda:” “Selain Dajjaal ada yang lebih
aku takuti atas umatku; yaitu para pemimpin yang sesat” (HR Ahmad).
§ Ciri
kelima adalah membuat dan rusak dan hancur seluruh tatanan sosial masyarakat. Salah satu bentuknya adalah
menjadi dominannya seluruh bentuk kemaksiatan dalam kepemimpinannya, seperti
kemusyrikan, sihir dan perdukunan, zina dan pornografi, minuman keras dan
Narkoba, pencurian dan korupsi, pembunuhan dan kekerasan, dll.
Tunaikanlah
Amanah
Besar atau kecil amanah yang dibebankan
kepada kita, hendaknya kita tunaikan atau kita laksanakan. Apabila amanah itu
tidak kita tunaikan, maka akan berakibat kepada diri kita serta kepada orang
lain. Dampaknya, kita tidak akan mendapat kepercayaan dari orang lain lagi, karena
telah mengecewakan serta membuat kerugian. Allah Ta’ala berfirman: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al Anfal 8: 27)
Amanah
Kepemimpinan
Manusia diciptakan oleh Allah Ta’ala
untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini. Di mana manusia sebagai pemimpin atau
khalifah di muka bumi harus senantiasa menjalankan amanah kepemimpinannya
dengan baik yaitu memakmurkan dan melestarikan bumi. “Dia-lah yang menjadikan
kamu khalifah-khalifah di muka bumi.” (QS. Fathir 35: 39)
Padahal dahulu ketika amanah terbesar
(memakmurkan dan melestarikan bumi) diberikan kepada ciptaan Allah, mereka
tidak ada yang menyanggupinya karena beban tersebut terlalu berat. Dan hanya
manusialah yang berani menerima tawaran yang diberikan Allah Ta’ala tersebut.
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. al Ahzab 33: 72)
Setiap manusia adalah pemimpin, baik
pemimpin bagi manusia yang lain atau pemimpin bagi dirinya sendiri. Dan setiap
pemimpin pasti akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat atas apa yang
dilakukannya. Sebaik-baik pemimpin adalah yang mampu memberi kemanfaatan bagi
yang dipimpinnya. Dan seburuk-buruk pemimpin adalah yang lalai dari apa yang
diamanahkannya serta memberikan keburukan bagi yang dipimpinnya.
Dari Ibnu Umar ra., ia berkata: Saya
mendengar Rasulullah saw. Bersabda: “Kalian adalah pemimpin, yang akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin keluarganya, dan
akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin di
rumah suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.
Pelayan adalah pemimpin dalam mengelola harta tuannya, dan akan dimintai
pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Oleh karena itu, kalian sebagai
pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Janganlah
Berkhianat
Apabila kita diberi kepercayaan untuk
mengemban suatu amanah maka hendaknya kita selesaikan amanah tersebut dengan
sebaik mungkin, dengan segala kemampuan. Termasuk ciri orang munafik apabila
kita melalaikan atas amanah yang dibebankan kepada kita. Jangan sampai kita
termasuk orang-orang yang dikabarkan oleh Rasulullah saw. sebagai golongan
orang yang munafik. Dari Abu Hurairah ra., ia berkata : Rasulullah saw.
bersabda “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu: Apabila berkata ia dusta, apabila berjanji ia mengingkari dan apabila
dipercaya ia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan seburuk-buruk orang yang lalai dari
amanah adalah orang yang diberi beban atau tanggungjawab yang besar untuk
mengelola negara atau bertanggung jawab terhadap orang banyak. Di mana
kebijakan yang dibuat hanya untuk kepentingan hawa nafsunya sendiri, tidak
untuk memberi kebaikan bagi rakyat yang dipimpinnya, justru memberi keburukan
bagi rakyat yang dipimpinnya. Hal seperti ini yang dapat dikategorikan dengan
pengkhianatan terhadap rakyat. Dari Abu Sa’id Al Khudriy ra. Bahwasanya Nabi
saw. Bersabda: “Setiap pengkhianat, pada hari kiamat nanti mempunyai sebuah
bendera yang ditancapkan di pantatnya, lantas dengan bendera itu ia ditarik ke
atas sesuai dengan pengkhianatannya. Ingatlah tiada pengkhianat yang lebih
jahat melebihi pemimpin rakyat yang berkhianat.” (HR. Muslim)
HUBUNGAN AMANAH
DENGAN KEIMANAN
1. Amanah Merupakan Tuntutan
Iman, dan khianat merupakan tanda hilangnya keimanan dan mulai merasuknya
kekafiran dalam diri seseorang. Sabda nabi SAW: “Tidak ada iman pada orang-orang yang
tidak ada amanah dalam dirinya, dan tidak ada agama pada orang yang tidak bisa
dipegang janjinya.” (HR Ahmad 3/135, Ibnu Hibban dalam shahihnya Mawarid
azh-Zham’an-47, al-Bazzar dalam musnadnya Kasyful Astar-100, lih. Juga dalam
Albani Shahih Jami’ Shaghir-7056)
2. Hilangnya Amanah Merupakan
Tanda Kiamat, yang salah satu cirinya adalah dipegangnya amanah oleh yang
orang-orang bukan ahlinya dalam masalah tersebut. Sabda nabi SAW: “Ketika amanah telah
disia-siakan maka tunggulah tibanya Kiamat.” Kata para sahabat ra: Bagaimanakah
disia-siakannya wahai rasulullah?
Jawab nabi SAW: “Ketika suatu urusan dipegang oleh yang bukan ahlinya maka
tunggulah tibanya Kiamat.’” (HR Bukhari dalam Fathul Bari’ hadits no. 59 dan
6496)
3. Hilangnya Amanah Terjadi
Bertahap,
sebagaimana sabda nabi SAW: “Seorang tertidur maka hilanglah amanah dari
hatinya bagaikan titik hitam, lalu ketika ia tertidur lagi maka hilanglah
amanah tersebut bagaikan bekas/jejak, demikianlah seterusnya sampai tidak ada
lagi amanah dihatinya, dan tidak ada lagi di hati manusia, sehingga mereka
tidak menemukan lagi orang yang amanah. Maka berkatalah sebagian mereka: Di
tempat si fulan
masih ada seorang yang bisa dipercaya. Sampai dikatakan kepada seseorang: Ia
tidak bisa dipegang, tidak berakal, tidak ada dihati mereka sebesar biji sawi
dari keimanan.” (HR Muslim dalam Mukhtashar Shahih Muslim hadits no. 2035)
JENIS-JENIS
AMANAH
1.
Amanah Fithrah: Yaitu amanah yang diberikan
oleh Sang Pencipta SWT sejak manusia dalam rahim ibunya, bahkan jauh sejak
dimasa alam azali, yaitu mengakui bahwa ALLAH SWT sebagai RABB/Pencipta,
Pemelihara dan Pembimbing (QS 7/172).
2.
Amanah Syari’ah/Din: Yaitu untuk tunduk patuh
pada aturan ALLAH SWT dan memenuhi perintah-NYA dan menjauhi larangan-NYA,
barangsiapa yang tidak mematuhi amanah ini maka ia zhalim pada dirinya sendiri,
dan bodoh terhadap dirinya, maka jika ia bodoh terhadap dirinya maka ia akan
bodoh terhadap RABB-nya (QS 33/72).
3. Amanah Hukum/Keadilan: Amanah ini merupakan amanah
untuk menegakkan hukum ALLAH SWT secara adil baik dalam kehidupan pribadi,
masyarakat maupun bernegara (QS 4/58). Makna adil adalah jauh dari sifat ifrath
(ekstrem/berlebihan) maupun tafrith (longgar/berkurangan).
4. Amanah Ekonomi: Yaitu bermu’amalah dan
menegakkan sistem ekonomi yang sesuai dengan aturan syariat Islam, dan
menggantikan ekonomi yang bertentangan dengan syariat serta memperbaiki kurang
sesuai dengan syariat (QS 2/283).
5.
Amanah Sosial: Yaitu bergaul dengan
menegakkan sistem kemasyarakatan yang Islami, jauh dari tradisi yang
bertentangan dengan nilai Islam, menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar,
menepati janji serta saling menasihati dalam kebenaran, kesabaran dan
kasih-sayang (QS 23/8).
6. Amanah Pertahanan dan Keamanan: Yaitu membina fisik dan
mental, dan mempersiapkan kekuatan yang dimiliki agar bangsa, negara dan ummat
tidak dijajah oleh imperialisme kapitalis maupun komunis dan berbagai musuh
Islam lainnya (QS 8/27).
AL QUWWAH WAL
AMANAH
Allah SWT telah menjelaskan kepada kita bagaimana
pemimpin yang baik itu, melalui beberapa contoh kepemimpinan yang Allah
ketengahkan dalam kitab-Nya, Al-Qur’an. Dalam QS Al-Qashash: 26, Allah SWT
berfirman: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Wahai bapakku,
ambillah ia (Musa) sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya
orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang
yang kuat (al-qawiyy) lagi dapat dipercaya (al-amin)".
Dalam ayat tersebut, Musa as disifati
memiliki dua sifat yaitu al-qawiyy
(kuat) dan al-amin (bisa dipercaya). Inilah dua sifat yang harus dimiliki
oleh seseorang yang “bekerja untuk negara”. Dua sifat tersebut adalah al-quwwah yang bermakna kapabilitas,
kemampuan, kecakapan, dan al-amanah yang bermakna integritas, kredibilitas,
moralitas.
Al Quwwah
Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan
ketika ia memegang amanah kepemimpinan. Kepemimpinan tidak boleh diserahkan
kepada orang-orang yang lemah. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa
Rasulullah Saw pernah menolak permintaan dari Abu Dzar al-Ghifariy yang
menginginkan sebuah kekuasaan. Diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Abu Dzar
berkata, “Aku berkata kepada Rasulullah Saw, “Ya Rasulullah tidakkah engkau
mengangkatku sebagai penguasa (amil)?” Rasulullah Saw menjawab, “Wahai Abu
Dzar, sesungguhnya engkau orang yang lemah. Padahal, kekuasaan itu adalah
amanah yang kelak di hari akhir hanya akan menjadi kehinaan dan penyesalan,
kecuali orang yang mengambilnya dengan hak, dan diserahkan kepada orang yang
mampu memikulnya.”Yang dimaksud dengan kekuatan di sini adalah kekuatan ‘aqliyyah dan nafsiyyah.
Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan akal yang menjadikan dirinya mampu
memutuskan kebijakan yang tepat dan sejalan dengan akal sehat dan syari’at
Islam. Seorang yang lemah akalnya, pasti tidak akan mampu menyelesaikan
urusan-urusan rakyatnya. Lebih dari itu, ia akan kesulitan untuk memutuskan
perkara-perkara pelik yang harus segera diambil tindakan. Pemimpin yang
memiliki kekuatan akal akan mampu menelorkan kebijakan-kebijakan cerdas dan
bijaksana yang mampu melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Sebaliknya,
pemimpin yang lemah akalnya, sedikit banyak pasti akan merugikan dan
menyesatkan rakyatnya.
Selain harus memiliki kekuataan
‘aqliyyah, seorang pemimpin harus memiliki kekuatan nafsiyyah (kejiwaan).
Kejiwaan yang kuat akan mencegah seorang pemimpin dari tindakan tergesa-gesa,
sikap emosional, dan tidak sabar. Seorang pemimpin yang lemah kejiwaannya,
cenderung akan mudah mengeluh, gampang emosi, serampangan dan gegabah dalam mengambil
tindakan. Pemimpin seperti ini tentunya akan semakin menyusahkan rakyat yang
dipimpinnya.
Dari sahabat Abu Hurairah, Bersabda
Rasulullah, “Mu’min yang kuat lebih dicintai Allah dari mu’min yang lemah, dan
masing-masing memiliki kebaikan. Bersemangatlah terhadap hal-hal yang
bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan merasa
malas, dan apabila engkau ditimpa sesuatu maka katakanlah “Qodarulloh wa maa
syaa’a fa’al, Telah ditakdirkan oleh Allah dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi”.
HR. Muslim
Kekuatan
Mengemban Amanah (Al
Quwwah Wal Amanah)
Untuk senantiasa menjaga diri kita dari
kelalaian mengemban amanah, maka dibutuhkan kekuatan penunjang agar amanah yang
ada di pundak kita dapat kita laksanakan dengan baik. Kekuatan atau kemampuan
mengemban amanah bukan pada kuantitas (banyak dan sedikit) amanah yang diemban,
melainkan pada kualitas diri kita dalam mengemban amanah. Kekuatan tersebut
antara lain:
1.Kekuatan Hati
Kekuatan hati adalah dengan mengingat
Allah, pemenuhan kebutuhan hati sangatlah penting, agar ruh atau jiwa memiliki
semangat hidup. Tanpa adanya pemenuhan kebutuhan hati maka jiwa akan mati dan
tidak sanggup mengemban amanah besar yang dilimpahkan kepada kita.
Menjaga kedekatan kita kepada Allah
Ta’ala merupakan sumber kekuatan yang paling penting. Karena hal ini berkaitan
erat dengan niat serta keikhlasan kita. Kekuatan hati dapat kita pupuk dengan
banyak beribadah kepada Allah Ta’ala. Allah akan senantiasa menolong
hamba-hambanya yang beriman. “Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan
orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya
saksi-saksi (hari kiamat).” (QS. Al Mu’min 40: 51)
Dengan semakin berkualitasnya keimanan
kita maka orientasi amalpun akan senantiasa mengharap keridhaan dari Allah
Ta’ala. Dalam setiap melaksanakan amanah yang ada pada diri kita, senantiasa
untuk mengharap barokah dari Allah Ta’ala. Apabila kita lalai dalam menjaga
keimanan kita, bisa jadi orientasi kita akan beralih hanya untuk mengejar nafsu
duniawi saja.
“Ikhlas merupakan suatu kekuatan iman
pengendali jiwa yang mendorong seseorang untuk menyingkirkan kepentingan
pribadi dan menjauhkan keinginan-keinginan materi, sehingga tujuan amal
semata-mata hanya untuk mengharap ridha Allah Ta’ala. Sebesar apapun amalan
yang kita kerjakan akan sia-sia manakala tidak disertai dengan niat yang
ikhlas.” (Abdullah Nashih ‘Ulwan)
2.Kekuatan Akal
Akal adalah yang membedakan manusia
dengan hewan, dengan akal manusia lebih mulia dari makhluk lainnya. Tentu saja
apabila digunakan untuk hal kebaikan dan memberikan manfaat kepada orang lain.
Dengan adanya ilmu dan wawasan yang luas maka amanah yang ada dipundak kita
akan dengan mudah kita laksanakan.
Ilmu dan wawasan akan memberikan jalan
bagi kita untuk mempermudah dalam menyelesaikan setiap ada permasalahan. Banyak
sekali perbedaan antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu.
Dengan ilmu, kita mendapatkan nilai lebih di hadapan manusia dan di hadapan
Allah Ta’ala. “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu:
“Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu",
maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mujadilah 58: 11)
3.Kekuatan
Fisik
Selain adanya kekuatan hati serta
kekuatan akal, kekuatan fisik juga sangat menentukan terlaksananya amanah.
Apabila kita memiliki kekuatan hati serta kekuatan akal tapi kita lemah dalam
kekuatan fisik (sakit-sakitan), maka kita tidak akan mampu merealisasikannya.
Menjaga kondisi fisik agar senantiasa
sehat merupakan suatu hal yang harus kita lakukan, yaitu dengan senantiasa olah
raga yang teratur, menjaga pola makan kita, makan dan minum yang halal serta
baik, menjaga kebersihan dan kesehatan diri dan lingkungan. Bukankan orang yang
kuat lebih dicintai Allah dari pada orang yang lemah? Dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim dikatakan bahwa “Mukmin yang kuat itu lebih baik atau
disukai Allah daripada mukmin yang lemah.”
Khatimah
Amanah terbesar kita sebagai manusia
adalah menjadi khalifah di muka bumi ini, untuk memakmurkan dan melestarikan
bumi demi kemaslahatan umat. Kemampuan kita mengemban amanah bukan pada banyak
sedikitnya amanah yang ada pada kita, melainkan pada kualitas diri dan
kesungguhan karena Allah dalam menunaikan amanah. Untuk bisa mengemban amanah
yang ada di pundak kita, maka diperlukan tiga kekuatan, yaitu kekuatan hati,
kekuatan akal serta kekuatan fisik.
Yakinlah, bahwa layaknya sebuah beban
setiap amanah yang Alah berikan tidak akan melebihi kemampuan hamba-Nya. Allah
Ta’ala berfirman: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya…” (QS. Al Baqarah 2: 286)
note: literasi dari berbagai sumber